Selasa, 15 September 2009

asal Abah bisa tersenyum


Abah nggak perlu khawatir dengan keadaan Anang. Pokoknya, Selama laut masih punya ombak, selama daun-daun masih bisa bergerak, selama batu nggak bisa punya anak, selama para cewek masih setia pakai bedak, selama Nurdin belum kena tembak, dan . . . . . selama Manglayang masih bisa berdiri tegak . . . . . itu tandanya Anang sehat-sehat saja, Abah. Abah tetap tenang dan positif thingking. Oh, iya. Abah jangan ngirim duit lagi, ya ke Anang. Anang kuliah di sini dapat gaji, kok. Mending Abah ngirimin dodol, kacang nagara, kue apam, durian, sama rambutan yang kemarin dah di panen pas musim rambutan itu . . . . . hehehe. Bercanda, Abah. Abah kirimin do’a aja buat Anang ya. Anang lagi butuh banyak do’a. biar semua lancar, gitu . . . . .

“Tolong diprint, ya Ki.” Anang yang terlihat masih ringkih menyerahkan flashdiscnya kepada teman satu kontingennya ini.

“Iya, Boz. Tenang. Entar aku yang kirim langsung ke Abah lewat Humas. Kamu istirahat aja di sini. Hhhmmm, biar kamu nggak bosan-bosan amat di KSA, ini aku bawain fotoku . . . . . eh, maksudku aku bawain foto Abah.” Rizki meletakkan sebuah foto di meja samping bed Anang.

“Wei, kamu dapat dari mana foto Abah?” Anang kaget.

“Gercep, laaaahhhh.”

“Dimana?”

“Di set WBP. Kamu, sih naruh sembarangan. Yang lain pada ngira ini purna angkatan berapa, gitu . . . . . pas ada kurve, kan kemarin. Dikit lagi, nih foto hampir jadi arsip.”

Anang kembali murung memandang sosok Abahnya yang paling dikaguminya setengah mati itu. Wasana Praja yang hampir 5 hari tidak tidur di Sultra atas ini merasa bersalah telah membohongi Abahnya. Dalam keadaan meringkuk lemah di KSA Anang masih sempat memberitahu kepada Abahnya bahwa keadaannya sehat-sehat saja.

“Tipu-tipu Abah lagi.” Rizki sering bilang begitu pada Anang. Tapi Anang merasa lebih baik begini daripada Abah khawatir. Padahal pengukuhan tinggal seminggu lagi. Dokter KSA sudah mengancam Anang tidak bisa ikut wisuda dan pengukuhan. Keadaannya masih belum sehat seutuhnya. Demam tinggi yang menyerangnya membuat dia tidak kuasa mengikuti kegiatan. Untungnya naas yang menimpanya itu terjadi setelah semua urusan jarlatsuhnya sudah beres. Bukan hanya deman tinggi tapi juga kondisi tangan kirinya yang masih dibalut perban gara-gara jatuh dari tangga.

Praja memang sudah biasa demam dan patah tulang. Tapi kalau demam dan patah tulangnya itu ketika mendekati hari-hari paling sacral bagi seorang praja . . . . . addduuhh, berarti praja itu sudah kehilangan moment bersejarah dalam hidupnya sebagai seorang Praja. Kurang lebih 3 tahun yang lalu Anang berjanji pada Abahnya bahwa Anang bakal jadi Pamong Praja Muda yang paling gagah di antara yang gagah (taelaaahhh). Sekarang, jangankan mau ikut wisuda dan pengukuhan, mau ikut gladi aja tidak ada yang mau mengizinkan.

Aaaaiiiiihhhh, rasanya pengen kabur dari sini kemudian langsung berdiri di barisan paling depan sebagai penjuru kanan dekat danton, posisi yang strategis yang kalau sampai orang di posisi tersebut tiba-tiba pusing lalu pingsan . . . . . aaahhhh, so pasti namanya akan jadi bahan gunjingan di daerah Jatinangor dan sekitarnya. Kejadian itu seakan-akan seperti sebuah aib bagi seorang praja., terlebih praja putra. Iddddiiihhhh, gak banget lah. Berani disamber senior, dah. Jangan sampai itu terjadi.

Kalau mengingat kondisi Anang yang belum bisa dikatakan sehat, kemungkinan hal itu bisa terjadi pada Anang dan selanjutnya Anang akan dipermalukan di depan angkatannya sendiri. Terlebih lagi di depan Abah. Oooohhhh . . . . .

Demam, patah tulang, hhhaaahhh . . . . . apa iya Anang tidak bisa menikmati agungnya parade saat pengukuhan? Apa iya saat pengukuhan dia malah terbaring lemah di KSA? Oooohhh, nelangsa sangat. Tiap kali telinganya mendengar bunyi sayup-sayup musik pengiring gladi pengukuhan . . . . . rasanya Anang ingin menitikkan air mata. Tapinya lagi masa calon PPM begitu??? Tipis sampeeee . . . . .bukan momentnya itu sebetulnya tapi . . . . . seseorang yang memegang janjinya tiga tahun silam itu. Seseorang yang ingin sekali dijadikan oleh Anang sebagai manusia paling beruntung di hari H nanti, bukan dengan astaganaga, astabraso, atau astabrata. Tapi dengan . . . . . kehadirannya sendiri dalam keadaan sehat walafiat aman sejahtera. Lagipula mana ngerti Abah sama astabrata dan csnya itu.

“Tapi Abah belum pernah ke Jatinangor. Jangankan ke Jatinangor, pergi ke Pulau Jawa aja Abah belum pernah.” Kata Abah di waktu lalu.

“Eh, nggak masalah, Abah. Abah sudah hebat. Sudah bisa terbang ngelewatin Pulau Jawa malah. Naik pesawat pertama kali dengan tujuan luar negeri untuk menunaikan ibadah haji. Mantap, Bah. Ke Arab aja Abah sanggup, apalagi kalau cuma ke Jatinangor, tipiiiiiiisssss . . . . . itu. Hehe.” Anang membesarkan hati Abahnya.

“Entar kalau Abah mau lihat Anang pengukuhan, Abah langsung kasih tahu Anang. Anang bakal ngurusin keberangkatan Abah hingga sampai ke kampus Anang. Sekalian, deh Abah Anang ajak muter-muter Kesatriaan sampai ele, sampai teler, hehehe . . .”

“Muter-muternya pakai ontel Abah, ya?” Pinta Abah dengan matanya yang berbinar-binar.

“Waduh, pakai ontel ya????? Hhhmmmm . . . . . ide bagus itu, Bah. Abah naik ontel, Anang yang nemenin pakai PDL. Pasti serasi itu, Bah. Persis kayak orang-orang jaman dulu. Hahaha.”

Sebenarnya nggak janji, Bah. Apa boleh naik ontel di kesatriaan. Jangankan naik ontel di kesatriaan, lihat ada ontel yang lolos dari gerbang PKD aja aku nggak pernah. Hhhhmmm, mungkin bagi Pamong Praja Muda yang dapat Astabrata permintaannya akan dikabulkan. Yaaaahhh, entar kalau dapat Astabrata mintanya itu aja. Boleh muter-muter kesatriaan pakai ontel.

“Abah juga mau lihat tempat kamu belajar.” Pinta Abah dengan antusiasnya.

“Beres, Bah.” Anang dengan tulus mengacungkan ibu jarinya.

“Tempat kamu tidur juga, ya.”

Tempat tidur??? Aduuuhhh, perasaan selain Praja, kan nggak boleh ada yang ke barak (hhaaa . . . . . idealis sampeeeee. Ya, iyalah. Masa idealis cuma buat muda doang. Apa kata Manglayang????) ah, tempat tidurku, kan bukan hanya di bed. Di lapangan Parade jua ok. Gni-gini, kan aku juga pernah tidur di Parade. Tidur berdiri. Hhhhaaaa . . . . . lanjutkan!

“Iya. Ok, Bah.” Anang mengangguk-ngangguk.

“Kalau perlu nanti Abah juga pengen tidur di tempat tidur kamu.”

Ha?!?!

“Kan, kamu pernah cerita ke Abah. Tempat tidur kamu lebih empuk daripada tempat tidur kamu yang di rumah. Hehe.” Abah tersenyum.

Hehehe . . . . . emang aku pernah bilang gitu, ya??? Ya . . . . . rumput Parade juga nggak kalah empuk, kok. Apalagi kalau pagi-pagi. Bagi Praja yang punya muka bed, pasti kebagian ngerasain empuknya parade. Mantap. Hhheee.

“Iya, Bah. Emang empuk. Hehe.”

“Sama itu . . . . . tempat kamu makan. Kata kamu tempat kamu makan sering nyediain ayam sama daging. Nggak kayak di rumah, tahu tempe melulu.”

Menza?????? Haddduuhhh . . . . . Abah masuk Menza??? Duduk siaaaaaappppp . . . . . grak! Hihihi. Eng-ing-eng . . . . . KSP saja sudah. Mesan ayam keprek sama ayam stick. Hhhhmmmm, nyam nyam . . . . .

“Siap, Bah.”

“Abah juga mau ke tempat kamu biasa nelpon Abah. Yang Abah bisa sekalian denger suara anginnya.”

Darul maarif lantai 3. Nggak masalah. Kalau perlu Abah aku kenalin ke Teteh-Teteh sama Aa-Aa di sekitar masjid.

“Gampang itu, Bah.”

“Terus . . . . . tempat kaki seribu.”

Tweng!!! Kaki seribu??? Tangga seribu kaleeeeeee.

“Ssssiiiiaaaapppp, Abah.” Kali ini Anang semakin lebay saja. Pakai nunjukin posisi hormat segala lagi.

“Sekalian kita berdua foto-foto di sana, okeh?”

“Terus apa lagi, ya?” si Abah mikir.

“Hhhmm, Abah juga mau lihat ruang kerja kamu.”

Ruang kerja??? Buset . . . . . aku lupa ngasih tau ke Abah kalau aku SWAT. Hehehe. Abah juga belum tentu ngerti soal SWAT. Di WBP? Itu, sih tempat aku biasa maket barang buat Abah. Hhhhh . . . . . aahhhaa! Di warnet. Hahaha.

“Pasti itu, Bah.” Anang cengar-cengir bangga.

Ooooohhhh, abaaaahhhh . . . . . Anang benar-benar nggak rela dunia akhirat kalau sampai kedatangan Abah malah diambilalih sama Rizky, bukannya Abah dibawa senang-senang, tapi malah ngajakin naik Manglayang. Apalagi kalau Risyad yang ngajak, bisa-bisa Abah diajak lari siang. Atau si Bima. Tubuh Abah yang tadinya nampak tua dan renta tiba-tiba saja jadi berotot. Aaaaarrrrgggghhhh . . . . . tiiiiidddddaaaakkkkk . . . . . Abah nggak boleh ketemu sama orang-orang saraf itu tanpa kendali dariku.

* * *

Sebentar lagi. Tepatnya . . . . . besok. Malam ini semuanya harus dipersiapkan sebaik mungkin, sesempurna mungkin, dan tentu saja . . . . . selebay mungkin. SSB saja tidak cukup. Itu baru dukungan dari segi performance. Harus ada dukungan dari segi moral, spiritual, dan fisik. Kalau perlu malam ini harus mandi kembang 7 rupa, tumpengan, dan . . . . . kurve. Pokoknya suasana barak wajib luluh lantak.

Dddrrrtt . . . . . dddrrtt . . . . . dddrrttt (ada sms masuk)

Nang, Abah dh da d dpn kmps. Tp pas dh nyampe gerbg, Abah ketemu sama Bapak-Bapak tinggi besar, kekar, mata belo, ada kumisnya panjang, tebal, . . . . . kamu di mana, Nang? Bls.

Ha??? Abah sudah di depan PKD. Oh no, oh yes, oh no. . . . . waduuuhhh, gimana ini? Aku mesti jawab apa? Mesti ngibul kayak gimana lagi? Ayo, Nang! Mikir! Mikir! Mikir!

“Heh, Nang! Panik amat kamu? Kenapa, he?”

Anang terpana melihat kedatangan Rizky, Bima, dan Risyad.

“Sasuuuuuuuuhhhhhhh! Ternyata kalian datang juga.”

“Nang! Kamu kenapa?”

“Waaahh, Anang pasti kesambet setan KSA.” Duga Bima.

“Eh, setan bahlul. Keluar kamu dari teman ku. Sesama setan jangan saling sambet.” Rizky reflek menggoyang-goyangkan tubuh Anang dan menepuk-nepuk pipi tirusnya.

“Woi! Kalian yang setan. Ah.” Anang menangkis kejahilan teman-temannya itu.

“Hahahaha . . . . . siapa suruh tipu-tipu?” tiga sasuhnya itu tertawa terpingkal-pingkal.

“Ok, aku mau ngomong serius sama kalian. Abah udah nyampe di PKD.”

“Abah?”

“Terus? Kamu mau kami yang ngurusin dia?”

“Bukan. Bukan itu yang kalian urus. Aku minta tolong bawain baju PDUB sama semir, setrika, dan braso ke sini. Atau kaau nggak mau repot bawa aja aku keluar dari sini, bawa aku ke barak aja.”

“Sinting kamu, ya.” Pekik Risyad.

“Aku rela dipanggil sinting, asalkan aku bisa jadi bagian dari sejarah yang penting. Tolong. Aku minta tolong sama kalian.” Pinta Anang.

“Kamunya gimana? Jelas-jelas kondisi kamu lagi nggak sehat. Masa kami ngebiarin gitu aja?”

“Ini demi Abah. Abah sudah nyampe di PKD. Aku nggak mau dia yang ke KSA. Aku mau aku yang ke Parade buat nunjukkin ke dia kalau aku sudah berhasil, bahwa pengorbanannya selama ini nggak sia-sia. Kalian ini ngerti dikitlah gimana perasaan seorang anak sama ortunya.”

“Kami ngerti. Tapi kondisi kamu masih belum sehat. Kalau kamu kenapa-napa, kan kami yang kena.”

“Aku udah sehat, kok. Sehat walafiat. Nih! Nih! Lihat! Sehat, kan.” Anang mencoba memberi bukti sambil memperagakan gerakkan-gerakkan aerobik pagi.

Sedangkan tiga sasuhnya hanya bisa saling pandang.

“Aku mohon sasuh-sasuhku. Aku nggak mau mengecewakan Abah. Soal kondisi kesehatan, sih gampang. Lihat Abah tersenyum pun aku pasti sudah sehat. Swear, fren.”

Setelah jungkir balik, push up, sit up, ngurusin administrasi Anang di KSA, dan (ternyata) dengan gampangnya, akhirnya Anang bisa keluar dari KSA dan menuju ke barak. Saat itu Anang nampak sehat. Tidak ada lagi tampang pucat. Yang tadi di mukanya tersirat tanda-tanda mau kiamat, kini berganti menjadi muka mayat . . . . . hehehe.

“Ya ampun! Abah! Abah masih di PKD.” Anang teringat. Tanpa pikir panjang lagi, dia langsung berlari ke arah PKD. Tiga oang yang bersamanya dari tadi juga ikut berlari dari belakang. Sesampainya di PKD, Anang mencari-cari raga Abah. Tapi bayangan Abah pun Anang tidak mendapati.

“Coba ditelpon, Nang!” suruh Risyad. Anang langsung merogoh saku celananya lalu dengan cepat memencet-mencet tombol keypad nokianya dan selanjutnya meletakkan nokianya ke telinga.

Sisa pulsa anda tidak dapat melakukan panggilan ini.

“Yaaaaahhh, kere sampeeeee . . . . .”

“Ya udah. Nih pakai punyaku.” Bima menyerahkan Blackberrynya.

Serong kanan, serong kiri, hadap kanan, hadap kiri, balik kanan . . . . . maju jalan, henti . . . . . grak. Istirahat di tempat grak. Aih, tidak ada jawaban dari Abah. Padahal Anang sudah panik dengan gaya PBBnya.

“Aduh Abah. Diangkat dong. Mana suaranya? Abah . . . . .”

“Lha??? Itu bukannya Abah?? Nang! Coba kamu lihat sana!” seru Rizky spontan.

Anang melongok ke arah yang diinstruksikan Rizky. Ternyata . . . . .

“Abah! Bener. Itu Abah.” Mereka mendapati sosok Abah berada di seberang mereka. Selanjutnya mereka langsung nyebrang sambil teriak-teriak manggil Abah. Pas sudah sampai . . . . .

“Bukan. Bukan Abah. Aaaahhhh, dasar rabun.” Kesal Anang.

“Tapi dari jauh mirip sama Abah.” Bela Rizky.

“Kerenan Abahku kaleeeee.”

Hingga gerbang PKD sepi, Anang belum juga mendapati Abah. Abah tidak menyahut ketika dihubungi.

* * *

Abah pasti datang. Masalahnya Abah sekarang lagi dimana? Setahu Anang Abah tidak tahu sama sekali dengan wilayah Jatinangor dan sekitarnya. Anang takut Abah kenapa-napa. Nyasar, ketemu penjahat, pasti yang kasihan adalah penjahatnya. Hehehe. Padahal Anang sudah siap dengan pakaian kebesarannya yang dari dulu ingin sekali dia tunjukkan pada Abah. Sekarang Abah ada dimana? Bersama siapa? Sedang berbuat apa?

Suasana hati Anang sangat berlawanan dengan kesatriaan pagi itu. Hiruk pikuk memekakan telinga. Ada semacam moment pelepasan rindu yang telah lama dibendung. ketika rindu itu dilepas, semuanyapun memperoleh imbas untung. Semuanya senang mengisi kesatriaan tanpa mengurangi kesakralan. Tapi ras itu belum bisa sepenuhnya dilepas demi sebuah kekhidmatan acara pengukuhan.

“Kamu sehat?” Tanya Ayu.

“Alhamdulillah, Mbak. Aku sehat.” Jawab Anang pada teman sekelasnya itu.

“Siapa yang datang?” tanyanya lagi.

“Tadinya Abah yang mau datang. Tapi Abah belum keliatan dari kemarin.” Kata Anang nampak murung.

“Ya sudah. Barangkali setelah acara pengukuhan Abah bakal muncul. Ayo, bareng ke DP.” Ajaknya.

Dengan perasaan was-was Anang menjalani proses demi proses acara pengukuhan. Walaupun begitu dia tetap konsentrasi pada rangkaian-rangkaian acara dengan khidmat. Cuman Anang harus bersedia berkeringat dingin bukan karena tidak tahan lagi dengan pagi yang panas itu, tapi karena Abah tak kunjung muncul. Hingga acara pengukuhan selesai, di saat yang lain sedang asyiknya berkumpul bersama orang-orang tercinta, Anang malah muter-muter mencari Abah. Anang sendiri di tengah-tengah haru biru itu. Anang merasa terasing.

Abah . . . . . ayolah, sekarang bukan waktunya untuk main petak umpet.

“Nang! Nang!” ada suara yang memanggil.

“Ada apa, Pak?” Anang menoleh ke sumber suara, seorang Bapak dengan kemeja coklat dan celana coklat, yang tidak asing bagi Anang. Bapak itu . . . . . pengasuh barak Anang. Pria itu langsung menarik tangan Anang menuju ke Balairung. Sedangkan Anang masih terbingung-bingung.

“Kamu pasti sedang mencari dia.” Bapak itu berhenti di teras Balairung sambil menunjuk seseorang.

“Abah.” Pekik Anang tanpa rasa ragu.

“Anang.” Pria yang dipanggilnya Abah itu menoleh dan melebarkan senyum tulusnya. Senyum yang selama ini hanya menjadi bayangan saja bagi Anang, tapi hari ini senyum itu seutuhnya nyata hanya untuk dirinya.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar